Sunday, October 26, 2008

Anak Pensiunan TELKOM jadi Teroris

http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=31669

Keterlibatan Abdurrahman Taib, 35, dalam jaringan teror Palembang mengagetkan para sejawatnya. Maklum, anak pensiunan PT Telkom yang tak pernah belajar di pesantren itu sebelumnya lebih dikenal sebagai juru obat alternatif.

''Saya sering keliling kampung mengobati orang dengan bacaan ruqyah,'' katanya setelah rekonstruksi Selasa (23/10).

Dari aktivitas itulah dirinya mulai dilabeli sebutan baru: ustad. Padahal, dia merasa pengetahuannya tentang Islam masih dangkal. Aktivitasnya terus berkembang, termasuk aktif dalam Forum Anti Permurtadan (Fakta) Palembang. Di sana, dia memegang kendali urusan komunikasi. ''Namun, Fakta tak berkaitan dengan kasus ini,'' tegasnya.

Dari Fakta, Abdurrahman yang aktif berdakwah ke pelosok-pelosok kampung tersebut akhirnya berkenalan dengan Ustad Sugandhi, 42. Sugandhi yang juga telah ditangkap polisi itu merupakan alumnus Afghanistan 1987-1992 yang aktif dalam sebuah ponpes di Sumsel. ''Saya yang belum jauh ilmunya mengikuti Ustad Gandhi,'' imbuhnya.

Padahal, Abdurrahman dituakan oleh empat rekannya yang lain, yakni Agustiawarman, Wahyudi, Heri Purwanto, dan Sugiarto. Akibatnya, mereka berempat pun turut bersama Abdurrahman mengaji di Ustad Gandhi.

Hubungan Abdurrahman bahkan lebih jauh. Dia pernah berangkat ke Kroya, Jawa Tengah, untuk mengambil bahan peledak dan sebuah pistol FN. Namun, dia tak mengenal siapa orang yang memberinya tersebut.

Pistol itulah yang dibawa ke mana-mana dirinya pergi. Mengapa tidak menembak saat ditangkap polisi? ''Jujur, saya belum pernah meletuskan. Belum pernah menembak,'' jawabnya kalem.

Dibanding pelaku yang lain, Abdurrahman yang fasih berbahasa Jawa (karena orang tuanya berdarah Jawa) itu memang paling kalem. Dia tidak menyebut kelompoknya sebagai mujahid. Bapak lima anak tersebut merasa masih beruntung ditangkap polisi karena tidak ada korban jiwa yang sempat jatuh akibat ulah kelompoknya.

''Ruginya, kami (telanjur) dipenjara. Kami ini masih jauh dari Amrozi, tapi kami sama-sama disebut teroris,'' ujarnya lalu tersenyum.

Saat ditanya apakah ada penyesalan atas keterlibatannya itu, lulusan SMA di Palembang tersebut menjawab diplomatis. ''Menyesal atau tidak itu biar menjadi urusan di dalam hati saja.'' Penyesalan Abdurrahman memang tidak diungkapkan secara verbal seperti empat anak buahnya yang lain.

Agustiawarman, 26, misalnya. ''Kami ini ngikuti saja. Kalau misalnya (dulu) kenalnya Aa Gym, ya saya pakai serban saja,'' katanya. Selain Gandhi, Agus mengaku pengaruh Hasan alias Fajar Taslim cukup kuat bagi kelompoknya. Hasan adalah warga Singapura yang menjadi buron di negerinya karena tersangkut Jamaah Islamiyah.

Pada Januari 2002, Hasan lari ke Indonesia bersama Husaini dan Mas Slamet Kastari. ''Saya ini selalu tertarik dengan dalil yang pas. Saya ingin berbuat untuk Islam,'' lanjut pegawai Bapas, Palembang, itu.

Sebenarnya, jika bisa memilih, Agus ingin menegakkan Islam dengan cara yang lebih damai. ''Saya sebenarnya tak terlalu frontal karena iman ini kadang naik, kadang turun,'' ujarnya.

Akibat pengaruh sang guru, mereka akhirnya larut dalam jalan kekerasan. Sugiarto, 21, akhirnya terpilih menjadi ahli rakit bom dalam kelompok tanpa nama itu. ''Tiga bulan belajarnya,'' ungkap Sugiarto yang merupakan anggota termuda jaringan teror Palembang tersebut.

Anak kedua di antara empat bersaudara itu berasal dari keluarga mapan. Ayahnya seorang petani karet dan padi. Di rumahnya, di Ogan Komering Ulu Timur, Sumsel, terdapat TV 29 inci yang tersambung dengan parabola.

Dia duduk di semeter tujuh Fakultas Tarbiyah, Jurusan Bahasa Arab, IAIN Palembang. Karena itu, dibanding empat rekannya yang lain, Sugi satu-satunya yang fasih mengutip ayat.

Siapa yang mengajari membuat bom? ''Namanya Ustad A (sengaja diinisialkan karena masih buron, Red). Dari logatnya, dia orang Jawa,'' jawabnya.

Sugi bertemu Ustad A yang mengaku dari Ambon di kediaman Ustad Gandhi pada 2006. Pelajaran membuat bom diisi dengan syarat: tak boleh bertanya asal dan muasal sang guru. Hingga ditangkap polisi pada 1 Juli lalu, Sugi berhasil merakit 20 bom siap ledak. Padahal, dia hanya bermodal yakin dan sedikit keahlian di bidang elektronika.

''Hingga kini pun belum tahu bagaimana efek ledakannya karena belum ada yang meledak. Tapi, lebih lah dari sekadar busss,'' ujarnya lantas tertawa.

Dia lalu menyebutkan komposisi dan campuran bom-bom mautnya itu. Semua di luar kepala. Dia juga mampu menerangkan detail bagaimana rangkaian elektronik itu disusun beserta cara pengaktifannya.

No comments: